Dunia pendidikan nasional kembali mendapat sorotan usai Mendikbudristek, Nadiem Makarim, mengumumkan bahwa skripsi tak jadi satu-satunya syarat lulus bagi mahasiswa. Sesuai dugaan, gebrakan ini mendapat respons yang beragam dari warganet.
Kalangan mahasiswa yang menuju semester akhir mendadak girang bukan kepalang. Mahasiswa yang baru saja lulus menyesalkan kenapa tidak dari dulu. Tak sedikit pula akademisi yang menyayangkan kebijakan ini karena “budaya skripsi” telanjur mendarah daging dan dinilai efektif untuk membuktikan kompetensi akademik.
Tapi benarkah hanya sedangkal itu saja pro kontranya? Tentu saja tidak. Mari kita kupas daftar pro kontra penghapusan skripsi sebagai syarat lulus kuliah di Indonesia.
Amerika Serikat sudah jauh lebih dulu mengendurkan skripsi jadi satu-satunya jalan untuk lulus kuliah. Meski setiap universitas di AS punya kebijakannya sendiri-sendiri, syarat lulus di negara adidaya ini cukup beragam. Berikut beberapa alternatif yang dapat dipilih.
Capstone project adalah proyek yang disusun mahasiswa untuk mengasah kultur kerja di dunia nyata pada bidang yang diminati. Berbeda dengan skripsi yang melibatkan banyak riset teoretis, capstone project melibatkan riset mendalam, problem solving, dan upaya kreatif.
Masih dalam lingkup karya ilmiah, penyusunan research paper tak sekaku skripsi. Karena lebih mirip esai, research paper menekankan interpretasi, evaluasi, dan argumen sang penulis.
Penilaian portofolio umum dijadikan syarat lulus bagi mahasiswa AS di jurusan seni, desain, atau kepenulisan. Di samping lebih relevan untuk dunia kerja, portofolio juga menunjukkan kesiapan dan kematangan mahasiswa dalam mempraktikkan wawasannya selama kuliah.
Selain ketiga alternatif tersebut, perguruan tinggi di AS juga kerap menyediakan alternatif lain, seperti studi independen, pembelajaran eksperimental, ujian lisan, magang, hingga proyek kelompok.
Karena bukan konsep yang baru, perguruan tinggi di AS memberikan fleksibilitas yang mungkin masing terdengar asing bagi kita.
Perlu dipahami bahwa skripsi tidak sepenuhnya dihapuskan. Hanya saja, kini skripsi bukan lagi satu-satunya jalan untuk lulus. Keputusan ini resmi diberlakukan pada 16 Agustus 2023 melalui Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023.
Nadiem Makarim menerangkan bahwa Perguruan Tinggi dibebaskan untuk menyesuaikan sendiri syarat kelulusan yang paling relevan bagi mahasisiwa. Nadiem menyebutkan, alternatif tugas akhir dapat diganti dalam bentuk prototipe maupun proyek.
Yang pasti, kebijakan ini diharapkan mampu menggeser indikator kelulusan yang konvensional—karena terlalu berpaku pada kemampuan penulisan karya ilmiah. Ke depannya, standar kelulusan diharapkan dapat lebih relevan dengan kebutuhan industri di dunia kerja.
Penghapusan syarat wajib skripsi untuk lulus kuliah memiliki beberapa poin plus yang menguntungkan dari segi sumber daya manusia, dunia kerja, sampai kesehatan mental mahasiswa.
Dibandingkan skripsi, perancangan prototipe atau proyek sebagai tugas akhir akan mampu meningkatkan kemampuan praktis di samping kompetensi teoretis. Nyatanya, skill problem-solving, kerja sama, semangat kolaborasi, dan mengasah inovasi jauh lebih relevan di masa-masa selepas kuliah.
Tidak semua mahasiswa mahir menyusun riset konvensional dalam bentuk skripsi. Penyediaan alternatif lain untuk lulus menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia sudah lebih menghargai perbedaan cara belajar setiap mahasiswa.
Proyek dan protitipe lebih banyak melibatkan praktik terapan yang aplikatif. Selain mematangkan inovasi, cara ini juga mengasah kesiapan kerja para mahasiswa. Karena pada akhirnya, apa yang tertulis di atas kertas akan jauh berbeda dengan praktik sebenarnya.
Seiring dengan adanya opsi syarat kelulusan yang variatif dan fleksibel, mahasiswa pun memiliki kebebasan untuk memilih sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Tekanan yang dialami mahasiswa akan relatif lebih terkontrol, terutama karena ada proses eksplorasi kreatif yang tidak sekaku skripsi.
Jangan buru-buru menyimpulkan kalau penghapusan skripsi sebagai syarat wajib kelulusan tak ada minusnya. Realistis saja, fleksibilitas tugas akhir bisa saja tidak efisien dari segi sistem penilaian dan biaya yang dikeluarkan.
Masalah utama dari tugas akhir nonakademik adalah standar penilaian yang rumit. Karena output yang dihasilkan beragam, evaluasi tugas akhir akan sangat rentan terhadap unsur subjektivitas. Jika tidak dibarengi dengan sistem yang memadai, kebijakan ini bisa saja menjadi bumerang yang justru mempersulit proses kelulusan mahasiswa.
Semua setuju kalau penghapusan skripsi sebagai syarat wajib lulus merupakan langkah yang revolusioner. Masalahnya, risiko dari setiap kebijakan yang revolusioner adalah masa transisi yang kritis.
Kita ambil contoh bagaimana masa New Normal saat pandemi menimbulkan panic buying yang meresahkan. Fase adaptasi ini sebaiknya menjadi fokus utama agar perguruan tinggi dan pemerintah memiliki pemahaman yang sejalan untuk menyukseskan fase adaptasi.
Kemampuan praktis memang penting. Tapi, bukan berarti skill riset pada skripsi tak berguna. Kecermatan dalam menggali informasi diperlukan dalam dunia kerja, khususnya jika mahasiswa ingin mendalami karier di bidang akademik.
Penerapan kebijakan ini tentu membutuhkan alokasi anggaran baru untuk program pelatihan dan sosialisasi dari pemerintah pusat ke perguruan tinggi. Selain itu, penyelesaian tugas akhir mungkin membutuhkan biaya dan sumber daya yang lebih besar ketimbang skripsi.
Kebijakan penghapusan skripsi memang sejalan dengan program Merdeka Belajar. Namun, transformasi pendidikan ini tak akan berjalan efektif kecuali jika pemerintah dan perguruan tinggi bersama-sama melakukan evaluasi dan perbaikan secara terus-menerus.
Untuk terus mengikuti perkembangan dunia pendidikan di Indonesia, yuk, bergabung di Odysee Education.
Kamu bisa mendaftar sebagai guru atau pihak sekolah untuk mengakses fitur menarik seperti:
Daftarkan diri sebagai guru atau sekolah di sini!