ChatGPT hampir tak pernah absen dalam perbincangan hangat soal kecerdasan buatan. Pada Rabu, 14 Juni lalu, CEO dari perusahaan induk ChatGPT, Sam Altman, datang ke Indonesia untuk mengisi acara bertajuk “Conversation with Sam Altman”.
Dalam acara tersebut, Mendikbud Nadiem Makarim mewakili rasa penasaran kita semua dengan menanyakan pendapat sang CEO terkait pengaruh AI terhadap masa depan dunia pendidikan.
Sam Altman merespons dengan mengatakan bahwa dunia pendidikan tengah mengalami perkembangan yang pesat—salah satunya disebabkan oleh adanya AI. Mau tidak mau, kita harus meninggalkan cara lama dan mengadopsi AI untuk menunjang keberlangsungan pendidikan.
Altman menambahkan bahwa ChatGPT sendiri sempat dilarang oleh berbagai sekolah saat pertama kali dirilis. Namun, belakangan, chatbot berbasis AI ini semakin diterima lantaran membawa manfaat yang besar dalam dunia pendidikan.
Tak hanya berdialog dan melempar pertanyaan teoretis di ruang percakapan ChatGPT, peranan AI ternyata sangat beragam. Berikut adalah 9 contoh penerapan AI dalam pendidikan.
Peran AI dalam Pendidikan |
|
Bagi Guru |
|
Bagi Siswa |
|
Tak bisa dimungkiri, AI menawarkan manfaat yang sangat berguna dalam proses pembelajaran, baik dari sisi murid maupun guru. Berikut adalah 4 dampak positif AI dalam pendidikan.
Keunggulan utama dari setiap teknologi adalah automasi. Jika manusia membutuhkan waktu berjam-jam untuk mengecek orisinalitas kata per kata sebuah tulisan, AI mampu memindai dalam hanya hitungan detik.
Efisiensi semacam ini bisa kamu manfaatkan dengan maksimal selagi mengerjakan tugas lain, seperti mengerjakan PR atau memberi paraf pada dokumen fisik.
AI dibekali dengan kemampuan mengenali perintah bahkan jika kalimat mengandung salah ketik atau struktur yang kurang tepat. Tak hanya itu, pengguna juga bisa memerintahkan AI untuk meningkatkan keterbacaan tulisan.
Kemampuan ini sangat membantu siswa berkebutuhan khusus, misalnya bagi pengidap disleksia yang sering kesulitan membaca dan menulis.
Belajar secara konvensional di dalam kelas tak selalu efektif. Tak jarang siswa yang punya preferensi belajar kinestetis lebih sulit menyerap pelajaran yang diterangkan secara lisan.
AI, di sisi lain, siap menjadi guru yang memberikan pembelajaran sesuai dengan level pemahaman setiap siswa. Tak hanya itu, AI juga mampu memberikan feedback instan jika siswa ingin mengevaluasi proses belajarnya.
Pada poin tertentu, perkembangan AI berhasil memicu kecemasan dari sisi manusia. Misalnya terkait ancaman apokaliptik jika AI kelewat maju dan tahu caranya “memberontak”.
Namun, tak perlu sejauh itu. Dalam dunia pendidikan, AI dapat berpengaruh negatif dalam 3 hal berikut ini.
Untuk mengakses semua fitur dengan lengkap, AI mematok layanan berbayar dengan nominal yang tidak sedikit. Meski efisien secara waktu, mari kita setujui bersama bahwa AI tak selalu efisien secara biaya.
Pada April lalu, salah satu universitas di Indonesia menerapkan tenaga pengajar dosen berbasis AI untuk mengisi perkuliahan.
Meski masih banyak tanggapan kontra netizen yang “melegakan” dari sisi manusiawi, bukan tak mungkin beberapa tahun mendatang AI akan menjadi alternatif efisiensi tenaga kerja yang dianggap lazim. Imbasnya, lapangan pekerjaan di dunia pendidikan perlahan ikut tergerus.
Konsekuensi dari teknologi yang serba instan adalah kerawanan akan rasa malas. Tugas-tugas teknis semakin disepelekan akibat adanya AI yang dianggap bisa menyelesaikan semua jenis masalah.
Alih-alih menyerap pelajaran dengan utuh, siswa bisa saja hanya menyalin jawaban AI tanpa benar-benar memahami apa yang mereka tulis di lembar jawaban.
Jika kamu adalah seorang murid, bayangkan berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk menuliskan rekaman kelas online saat kamu absen. Jika kamu seorang guru, pikirkan betapa repotnya jika kamu harus mengecek plagiarisme setiap tugas siswa secara manual.
Waktu yang kamu habiskan untuk menyelesaikan kedua hal tersebut bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif lain, misalnya membaca buku atau menyusun metode pembelajaran baru. Dalam skenario ini, AI masih berada di level asistensi yang tidak melanggar nilai etis seorang murid maupun guru.
Akan beda kasusnya jika kamu, sebagai seorang murid, mengandalkan AI untuk mengerjakan PR yang harusnya dijawab berdasarkan opini dan pengalaman pribadi masing-masing siswa. Kesimpulannya, AI sebagai musibah atau anugerah hanya bisa ditentukan jika kamu tahu seberapa jauh kamu menggunakannya.
Untuk mengevaluasi hal ini, coba jawab dengan jujur 7 pertanyaan reflektif berikut ini.
Musibah |
Anugerah |
|
Apakah kamu memanfaatkan atau mengandalkan AI? |
Mengandalkan |
Memanfaatkan |
Apakah kamu menggunakan AI untuk hal-hal yang (secara etis) harusnya kamu lakukan sendiri? |
Ya |
Tidak |
Apakah kamu mengklaim hasil pekerjaan AI sebagai hasil pekerjaanmu? |
Ya |
Tidak |
Apakah AI membuatmu merasa terbantu atau ketergantungan? |
Ketergantungan |
Terbantu |
Apakah AI membuatmu malas-malasan? |
Ya |
Tidak |
Apakah AI memudahkan atau menggantikan peranmu ketika mengerjakan sesuatu? |
Menggantikan |
Memudahkan |
Apakah kamu menggunakan AI untuk menyontek? |
Ya |
Tidak |
Sebagai tenaga pendidik, AI memang berpotensi mengancam ketersediaan lapangan kerja di masa depan. Untuk menekan risiko ini, guru bisa terus melakukan inovasi dan kreativitas pembelajaran yang personal. Tak seperti manusia, AI tidak mampu mengenali emosi lawan bicaranya.
Terkait risiko malas pada siswa, pastikan guru memberikan instruksi dan perintah yang jelas saat memberi tugas atau pekerjaan rumah. Berikan juga pembekalan terkait pentingnya memelihara pola pikir yang unik berdasarkan sudut pandang pribadi.
Terakhir, supaya para guru tetap up-to-date dengan perkembangan dunia pendidikan, termasuk implementasi AI, jangan lewatkan kesempatan untuk bergabung di Odysee Education!
Kamu bisa mendaftar sebagai guru atau pihak sekolah untuk mengakses fitur menarik seperti:
Daftarkan diri sebagai guru atau sekolah di sini!