Hari Guru Nasional yang disingkar dengan HGN, diperingati setiap tanggal 25 November atau jatuh pada hari Sabtu di tahun 2023. Oleh karena itu, beberapa orang memperingatinya pada hari Jumat sebelum hari H atau Senin setelahnya.
Beberapa tahun terakhir Hari Guru Nasional tersebut diperingati dengan antusias. Hampir di setiap sekolah, siswa dengan semangat menyiapkan berbagai hadiah. Ada yang membuatnya secara peribadi dan kolektif.
Semua mempunyai tujuan yang sama, yakni menyampaikan rasa terima kasih kepada guru yang telah banyak berjasa. Mereka yang mengajarkan banyak ilmu dengan sabar hingga siswa menjadi lebih baik.
Dari berbagai peringatan Hari Guru Nasional di beberapa sekolah ada beberapa catatan yang bisa dijadikan kesimpulan sebagai berikut.
1. Makna Guru
Kebanyakan sekolah, baik negeri maupun swasta merayakan HGN di dalam kelas. Umumnya mereka memperingati dengan menghias kelas dan memberikan hadiah kepada wali kelas plus guru pendamping.
Di sini makna guru menjadi sangat sempit, hanya wali kelas saja. Hal yang sama terjadi ketika orang tua memberikan kenang-kenangan saat kenaikan kelas tiba.
Guru lain, terutama yang tidak bertugas sebagai wali kelas tidak mendapat hadiah. Jika pun diberi, pemberiannya dibedakan dengan barang dengan nominal harga lebih rendah. Apakah mereka tidak diakui sebagai guru? Tidak mempunyai jasa terhadap anak?
Di sini, makna guru menjadi lebih sempit sebagai wali kelas. Bagaimana pula mereka yang berada di lingkungan sekolah, selain guru yang tidak mendapat hadiah? Ada Kepala Sekolah, Guru BK, bahkan sampai OB dan satpam.
Di luar itu, ada pula guru ngaji, guru les, guru kursus, dan guru-guru lainnya.
Mereka tentu tidak pernah membahas tentang seberapa banyak hadiah yang diterima dan alasan tidak mendapatkannya. Akan tetapi, tidak ada yang tahu apa yang ada dalam hati kecilnya.
Meskipun ada orang tua yang tidak lupa memberikan hadiah kepada guru lain atau sekolah yang menerapkan aturan penerima hadiah untuk berbagi, tetapi jumlahnya tidak seberapa.
2. Terjadi Ketimpangan Sosial
Ada kelas yang tidak mengkoordinir hadiah kepada guru. Setiap murid bebas memberikan apa saja. Pada akhirnya, murid berlomba berusaha memberikan yang terbaik, biasanya dinilai dari harga dan rupa.
Bagaimana dengan siswa dengan orang tidak mampu? Mereka juga tentu saja ingin memberi dan berbagi juga sebagai tanda terima kasih. Namun, keuangan tidak memungkinkan. Beberapa mungkin bisa memaksakan diri, lainnya tidak. Siswa kemungkinan bisa menjadi malu dan rendah diri. Apalagi jika guru menjadikan hadiah-hadiah tersebut di status media sosial dan mengucapkan terima kasih di grup wali murid.
Sungguh, bukan ini yang seharusnya terjadi di Hari Guru Nasional.
3. Sikap Orang Tua dan Siswa kepada Guru
Suatu sikap yang manusiawi jika seorang guru senang mendapatkan hadiah dari siswanya. Namun, berterima kasih kepada guru bukan semata pemberian.
Tentu kita masih ingat berbagai perlakukan siswa dan orang tua terhadap guru yang ramai di media sosial. Ada orang tua melemparkan ketapel kepada guru yang telah menegur anaknya karena merokok. Guru itu sampai buta.
Di sisi lain, ada pula guru yang ditantang muridnya berkelahi karena tidak suka ditegur.
Peran guru menjadi semakin sulit. Demikian susahnya hingga jarang sekali generasi muda yang menuliskan profesi guru sebagai cita-cita.
Belum lagi jika guru di masa depan membaca, siswanya menjadi seorang koruptor, penjahat, dan lain sebagainya. Jasa mereka seakan tiada arti.
Kesimpulan di Hari Guru Nasional
Pada akhirnya, peringatan Hari Guru Nasional dengan pemberian hadiah tidaklah harus dilarang. Namun, pihak orang tua dan sekolah dapat bekerja sama dalam hal ini. Makna guru diperluas, bukan hanya walas saja. Saling instropeksi antara orang tua dan guru di setiap masalah juga diperlukan. Jangan sampai seperti kata sebuah sandiwara radio zaman dahulu yang sedikit diplesetkan, "Guruku Sayang, Guruku Malang".