Dua pertanyaan klasik yang sering muncul tentang larangan merokok adalah:
Jawabannya ada pada standar kematangan usia. Jenjang sekolah secara umum diisi oleh siswa berumur 4 sampai 18 tahun.
Dalam hukum domestik maupun internasional, siapa pun yang belum berusia 18 tahun masih akan dianggap sebagai anak di bawah umur.
Di usia tersebut, keputusan yang mereka buat mereka belum dapat dianggap matang dan bisa dipertanggungjawabkan
Oleh karena itu, orang dewasa di sekitar mereka, termasuk orang tua dan guru, secara legal dapat mengawasi dan memberi arahan atau teguran untuk mereka. Inilah mengapa larangan merokok lebih intens digalakkan pada anak sekolah ketimbang anak kuliah.
Jika diuraikan, ada setidaknya lima bahaya merokok bagi anak sekolah. Apa saja? Mari kita kupas selengkapnya.
Bahaya merokok memang tak langsung terlihat dalam isapan pertama. Itulah mengapa kebanyakan remaja menganggap enteng efek jangka panjangnya.
Parahnya, mereka tak segan-segan menantang teman sebayanya untuk ikut merokok. Studi menunjukkan bahwa merokok dapat menjadi “gerbang” atas perilaku tak pantas, termasuk risiko membolos bahkan dropout.
Kebanyakan orang menganggap rokok sebagai jalan pintas untuk merasa lebih rileks dan tenang. Anggapan ini perlu diluruskan.
Nikotin memang dapat memicu perasaan rileks. Namun, efek ini tak akan bertahan lama.
Dalam konsumsi jangka panjang, perokok justru lebih rawan untuk mengalami kecanduan. Imbasnya, tingkat kecemasan (anxiety) akan naik dan dapat berujung pada depresi.
Kamu pasti pernah dengar seorang perokok mengatakan bahwa rokok bisa membantu mereka untuk fokus dan berkonsentrasi.
Jangan telan informasi tersebut mentah-mentah. Faktanya, konsumsi rokok dalam jangka panjang justru dapat menurunkan level kecerdasan.
Menurut Science Daily, rata-rata non-perokok mempunyai level IQ di angka 101, sementara rata-rata perokok memiliki IQ tujuh poin lebih rendah di kisaran 94.
Saking bahayanya, setiap kemasan rokok secara terang-terangan menuliskan risiko kesehatan yang sedang dipertaruhkan oleh konsumennya.
Menjadi perokok berarti “menyerahkan diri” kepada sederet ancaman kesehatan yang fatal, seperti:
Saling pinjam korek api di antara para perokok dipercaya dapat meningkatkan kemampuan bersosialisasi. Hal tersebut rupanya hanya valid di kalangan sesama perokok.
Kenyataannya, studi membuktikan bahwa perokok justru memiliki kecenderungan untuk mengisolasi diri dan merasa kesepian. Pesan moralnya, jangan jadikan budaya meminjam korek api sebagai pembenaran bagimu untuk merokok.
Saat menangkap basah seorang siswa sedang merokok di area sekolah, ada dua hal yang bisa segera dilakukan oleh guru.
Pertama, menghampiri dan menegur siswa. Atau kedua, bergegas melaporkan kejadian tersebut kepada otoritas terkait, misalnya bidang kesiswaan atau kepala sekolah.
Langkah selanjutnya adalah memberikan efek jera. Bisa dengan mengirimkan surat panggilan kepada orang tua/wali, diikuti dengan sejumlah sanksi yang sepadan.
Ketiga, untuk memastikan hal tersebut tidak terulang lagi, guru dapat memberikan edukasi yang intensif, serta dukungan moral supaya anak merasa terdorong secara wawasan dan emosi.
Untuk memudahkan penanganan risiko merokok di kalangan siswa, kamu dapat bergabung dengan Komunitas Guru Odysee Education.
Di komunitas ini, kamu akan dipertemukan dengan pengajar lain dari seluruh Indonesia untuk saling berbagi upaya preventif dalam merokok hingga bertukar informasi dan berdiskusi.
Ingin bergabung?
Sign up di website odysee.education sekarang atau ketuk link berikut ini.